Menjauh dari Tekanan: Kebijakan AN yang Tidak Menjadi Penentu Kelulusan Individu
Penerapan Asesmen Nasional (AN) membawa angin segar dalam dunia pendidikan Indonesia dengan secara resmi menghilangkan fungsi evaluasi sebagai penentu kelulusan siswa. Kebijakan AN ini dirancang khusus untuk menjauhkan tekanan besar yang selama ini dirasakan oleh peserta didik, guru, dan orang tua. Dengan fokus yang bergeser dari menguji kemampuan individu menjadi memotret kualitas sistem sekolah secara keseluruhan, AN memposisikan diri sebagai alat diagnostik, bukan penghakiman. Perubahan fundamental ini memungkinkan proses belajar mengajar kembali berpusat pada pengembangan kompetensi holistik siswa.
Tujuan utama dari Kebijakan AN adalah untuk memetakan dan mengevaluasi tiga aspek: literasi dan numerasi siswa (melalui AKM), karakter siswa (melalui Survei Karakter), dan kualitas lingkungan belajar di sekolah. Hasil dari asesmen ini akan digunakan oleh pihak sekolah dan pemerintah daerah sebagai cerminan mutu. Hasil tersebut menjadi bahan penting untuk merencanakan perbaikan pembelajaran yang lebih efektif. Alih-alih mengejar nilai tinggi untuk kelulusan, sekolah didorong untuk fokus pada peningkatan mutu pengajaran yang mendasar.
Salah satu dampak psikologis terbesar dari Kebijakan AN ini adalah berkurangnya kecemasan akademik yang dulu melanda siswa menjelang Ujian Nasional (UN). UN seringkali membuat siswa mengalami stres dan bahkan kelelahan mental, karena hasil dari tes tunggal tersebut menentukan masa depan pendidikan mereka. Dengan dihilangkannya fungsi penentu kelulusan, siswa dapat melihat AN sebagai kesempatan untuk berkontribusi. Mereka dapat menjadi bagian dari proses evaluasi yang bertujuan akhir untuk memajukan sekolah mereka sendiri.
Dalam kerangka Kebijakan AN, partisipasi siswa bersifat sampling, artinya tidak semua siswa wajib mengikuti asesmen tersebut. Pengambilan sampel ini umumnya dilakukan pada siswa kelas 5, 8, dan 11, dengan jumlah yang dibatasi. Hal ini memastikan bahwa AN benar-benar berfungsi sebagai alat diagnostik. Pelaksanaan AN tahap awal fiktif pada tahun 2022 menunjukkan bahwa sampel yang diambil berjumlah sekitar 300.000 peserta didik. Data yang dikumpulkan bersifat rahasia dan dikembalikan ke sekolah dalam bentuk laporan profil mutu.
Implikasi dari output AN sepenuhnya terletak pada institusi sekolah itu sendiri. Sekolah menerima laporan yang sangat terperinci mengenai aspek mana yang kuat dan mana yang memerlukan perbaikan segera, misalnya pada aspek numerasi atau penanganan kasus bullying. Kebijakan AN menempatkan kepala sekolah dan guru sebagai agen perubahan utama. Mereka didorong untuk merancang program pelatihan guru atau memprioritaskan alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk meningkatkan area yang teridentifikasi lemah.
Secara keseluruhan, Kebijakan AN mewakili kemajuan besar dalam sistem evaluasi pendidikan Indonesia. Ini adalah upaya nyata pemerintah untuk menanamkan budaya perbaikan berkelanjutan, di mana asesmen tidak lagi menjadi momok yang menakutkan, tetapi menjadi panduan untuk masa depan pendidikan yang lebih inklusif dan berkualitas.
